K-BioBoost - More information

K-BioBoost - More information
Untuk informasi seputar K-BioBoost...klik disini..

Pencipta Reaktor Balon Biogas - Teknologi tepat guna

Andrias Wiji Setio Pamuji (27)
Di kalangan peternak sapi perah, terutama di Jawa Barat, membuat biogas dari kotoran sapi tengah menjadi kesenangan baru. Apalagi dalam kondisi persediaan bahan bakar minyak yang tidak menentu dan harganya terus melaju seperti sekarang.

Untuk itu, menghasilkan dan memanfaatkan gas hasil kerja sendiri merupakan kebanggaan tersendiri sehingga para peternak tidak perlu lagi membeli minyak tanah, gas elpiji, atau kayu bakar.

Jangan heran kalau mendatangi peternakan di daerah Lembang dan Cisarua, Kabupaten Bandung, Anda akan menemukan kantong plastik ukuran 5.000 liter dalam sebuah lubang dan kantong lainnya ukuran satu meter kubik mengapung di bawah atap yang disambungkan dengan pipa-pipa plastik.

Perlengkapan sederhana yang biasa terdapat dekat kandang sapi itu sebetulnya reaktor dan penampung biogas. Kotoran sapi yang sudah dicampur air dengan ukuran satu banding satu itu diubah menjadi gas. Gas itu dialirkan pada reaktor. Setelah menjadi gas kemudian dialirkan pada penampung gas. Melalui selang plastik, gas dialirkan lagi ke kompor gas di dapur untuk memasak.

Percobaan membuat reaktor sederhana dari plastik ini sudah dilakukan oleh Andrias Wiji Setio Pamuji (27) pada tahun 2000, saat ia masih kuliah tingkat III di Jurusan Teknik Kimia Departemen Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB).

Namun, Andrias baru memasarkannya pada 9 April 2005 setelah menyempurnakan percobaan-percobaannya. Reaktor biogas dari plastik ini sebelumnya pernah menang dalam Lomba Kreativitas Mahasiswa tahun 2002 yang diadakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Andrias sudah lama mengetahui bahwa kotoran sapi bisa dijadikan gas. Namun, kesempatan membuktikan hal tersebut baru kesampaian saat ia kuliah. Saking penasaran, ia membawa kotoran sapi yang sudah dicampur air dari sebuah peternakan. Kotoran sapi itu ia bawa dengan jeriken ukuran lima liter.

Sampai di rumah indekos, jeriken tetap ditutup agar terjadi fermentasi pada kotoran sapi. Setelah sebulan, jeriken dibuka dan di atas lubang jeriken dipasang plastik. Plastik langsung mengembang.

Andrias yang berasal dari Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, itu segera mencari pucuk bolpoin yang terbuat dari logam. Pucuk pulpen ini ditusukkan pada plastik dan keluarlah gas. Ia menyulutnya dengan korek api. "Ternyata betul, kotoran sapi bisa jadi gas dan bisa dibakar," ujarnya.

Andrias terus memodifikasi peralatan dengan menggunakan uang bantuan dari teman- temannya. Percobaan demi percobaan ia lakukan untuk bisa menghasilkan reaktor dan penampung gas berharga murah dan berkapasitas mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga.

Sampai akhirnya, dari percobaan demi percobaan, ia menghasilkan reaktor dari plastik dengan tebal 250 mikron serta menciptakan kompor untuk jenis gas metana.

Ia baru memasarkan reaktor tersebut pada April 2005. Saat itu dirasa tepat sebab harga bahan bakar minyak (BBM) terus naik. "Saya sudah memprediksi bahwa BBM akan mahal. Tapi kalau dulu, harga BBM alternatif masih lebih mahal dari BBM yang ada. Sulit bagi masyarakat untuk berpaling," kata Andrias.

Kini reaktor biogas buatannya sudah digunakan oleh 66 peternak sapi perah di Subang, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Padang, Sumatera Barat, menyusul Bali, Jawa Tengah, dan Lampung.

Sebetulnya, segala kotoran binatang bisa digunakan, termasuk kotoran manusia. Hanya saja teknologi terbentur oleh asas kepantasan dalam masyarakat. Sampah organik juga bisa dipakai sebagai bahan pokok pembuatan gas. Reaktor bisa ditempatkan di tempat penampungan akhir (TPA) sampah.

Pada TPA yang mendapat kiriman sampah sebanyak 5.000 meter kubik per hari bisa dihasilkan gas sebanyak 25.000 meter kubik per hari atau setara dengan 31,25 juta watt listrik. Itu juga bisa mengalirkan listrik bagi sekitar 2.500 rumah tangga.

Andrias menjual reaktornya dengan harga Rp 1,5 juta, termasuk pemasangan.

Keseriusan dalam kerja sama penting karena penjualan reaktor biogas harus diikuti dengan layanan purnajual yang memuaskan agar masyarakat tidak merasa tertipu. "Kalau pemakai merasa banyak keluhan dalam menggunakan reaktor biogas, mereka tidak akan percaya bahwa kotoran sapi betul-betul bermanfaat," ujar Andrias.

Ia mengatakan, sampai kini gas yang dihasilkan belum dapat dikemas dalam tabung karena gas dari kotoran sapi adalah jenis metana (CH4). Sementara gas yang dikemas dalam tabung merupakan gas yang bisa dicairkan, yang berasal dari jenis butana (C4 H10) dan pentana (C5H12). Gas yang bisa dicairkan bisa masuk dalam tabung dengan volume jauh lebih banyak. Namun, metana tidak bisa demikian.

"Tapi biasanya dalam dunia teknologi, segala sesuatu akan terus berkembang. Mudah-mudahan ada dana untuk meriset lagi agar tidak hanya peternak sapi yang bisa merasakan manfaat biogas ini," kata Andrias.

Sejauh ini, bagi masyarakat yang ingin menikmati biogas dari kotoran sapi dan bagi peternak yang ingin menjual biogasnya kepada tetangga baru bisa dilakukan dengan sistem jaringan gas yang dihubungkan dengan selang-selang, seperti penggunaan gas pada zaman dahulu. Untuk menghitung pemakaian, digunakan meteran.

Andrias adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Anak petani ini sering penasaran dan ingin membuktikan teori-teori yang didengarnya dengan cara melakukan percobaan.

Waktu kecil ia pernah membuat listrik dan perahu motor mainan dengan penggerak kincir angin. Kincir angin dibuat dari pemutar kaset dalam tape. Andrias juga senang bertani dan beternak. Tanaman dan hewan ia rawat dengan kasih sayang. Ini adalah ajaran dari ibunya.

Sejak kecil Andrias sering membantu orangtuanya bekerja di sawah. Ibunya sering menunjukkan kepadanya sawah-sawah yang subur dan kering. "Sawah yang hijau dan subur itu setiap hari ditengok petani. Kalau yang coklat itu jarang ditengoki petaninya," kenang Andrias menirukan kalimat ibunya.

Perkataan itu mengartikan, sawah yang sering ditengok akan lebih terawat. Perawatan itu adalah cermin dari ketekunan. Tekun, itulah yang menjadi prinsip hidup Andrias.

Suami dari Mila Juliani Perangin-angin (24) dan ayah dari Aldo Adicipta Yanuar (7 bulan) ini pun membuat dan memasarkan reaktor dengan ketekunannya. Meskipun sudah 66 orang menggunakan reaktornya, keuntungan materi belum ia rasakan. "Yang penting masyarakat bisa menerimanya dulu," kata Andrias menekankan.



Sumber : Kompas (15 Agustus 2005) 

Membangun Pertanian Organik di Indonesia

Oleh Kabelan Kunia, M.Si.

Memasuki abad ke-21 banyak keluhan-keluhan masyarakat utamanya masyarakat menengah ke atas tentang berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran, diabetes, ginjal dan lain-lain. Hal ini disebabkan pola dan jenis makanan yang salah. Banyak sekali bahan makanan yang diolah dengan berbagai tambahan bahan kimia. Di samping itu budaya petani yang menggunakan pestisida kimia dengan frekuensi dan dosis berlebih akan menghasilkan pangan yang meracuni tubuh konsumen. Adanya logam-logam berat yang terkandung di dalam pestisida kimia akan masuk ke dalam aliran darah. Bahkan makan sayur yang dulu selalu dianggap menyehatkan, kini juga harus diwaspadai karena sayuran banyak disemprot pestisida kimia secara berlebihan.

Peluang Indonesia menjadi produsen pangan organik dunia, cukup besar. Di samping memiliki 20% lahan pertanian tropik, plasma nutfah yang sangat beragam, ketersediaan bahan organik juga cukup banyak. Namun menurut IFOAM (International Federation of Organik Agricultural Movement) Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha (0.09%) lahan pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai program yang saling sinergis untuk menghantarkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik terkemuka.

Indonesia yang beriklim tropis, merupakan modal SDA yang luar biasa dimana aneka sayuran, buah dan tanaman pangan hingga aneka bunga dapat dibudidayakan sepanjang tahun.
Petanian Organik adalah sebuah bentuk solusi baru guna menghadapi kebuntuan yang dihadapi petani sehubungan dengan maraknya intervensi barang-barang sintetis atas dunia pertanian sekarang ini. Dapat kita saksikan, mulai dari pupuk, insektisida, perangsang tumbuh, semuanya telah dibuat dari bahan-bahan yang disintesis dari senyawa-senyawa murni (anorganik) di laboratorium.

Kita tahu di negara lain, khususnya di negara-negara Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Serikat pertanian organik merupakan sektor pangan yang paling cepat pertumbuhannya. Laju pertumbuhan penjualan pangan organik berkisar dari 20-25% pertahun selama dekade terakhir ini.



Source : KUNIA Organic Farming & Research


Manfaat sayuran organik.

Bukti semakin tingginya kesadaran masyarakat akan hidup sehat salah satunya adalah dengan menerapkan pola dan menu makanan yang sehat.  Banyak jenis-jenis penyakit baru yang bermunculan serta tingginya resiko terkena penyakit karena pola hidup dan makanan yang salah. 
Kini, sayuran organik menjadi salah satu tren baru dalam dunia kesehatan khususnya makanan sehat.  Manfaat sayuran organik ini sangat banyak bagi kesehatan tubuh kita.

Perbedaan Sayuran Organik dan Sayur Non Organik
Sebenarnya apa sih sayuran organik itu?  Secara fisik terlihat sama saja dengan sayuran non organik yang ada selama ini. 
Tapi yang jelas, manfaat sayuran organik ini lebih banyak dan menguntungkan bagi kesehatan lho!  Yuk, mari kita lihat perbedaannya antara lain :
Sayuran organik ini tidak menggunakan pupuk buatan.  
Kalau menanam sayuran pada umumnya petani menggunakan tambahan pupuk buatan seperti Urea, KCl dan lainnya untuk membantu pertumbuhan tanaman. 
Tapi, khusus pada sayuran organik tidak menggunakan pupuk buatan sama sekali.  Hanya menggunakan tambahan pupuk alam, seperti kompos dan pupuk kandang yang berasal dari  kotoran hewan.
Sayuran organik ini dalam proses penanamannya tidak disemprot dengan pestisida seperti insektisida maupun herbisida dan lainnya. 
Untuk menanggulangi hama dan penyakit yang datang, biasanya pertanian organik ini dibuat rotasi atau pergantian tanaman dalam satu area dan waktu tertentu, atau menggunakan predator dari hama tersebut.

Manfaat Sayuran Organik
Sekarang tidak sulit untuk menemukan sayuran organik karena sayuran ini sudah banyak yang menanam dan menjualnya.  Manfaat sayuran organik yang berguna bagi kesehatan tubuh kita antara lain:
Lebih segar , enak dan tidak cepat busuk.
Sayuran organik rasanya lebih manis, renyah dan segar.  Hal ini disebabkan kandungan air dalam sayur tidak terlalu banyak.  Selain itu, kandungan air yang sedikit dibandingkan dengan sayuran non organik membuat sayur organik ini lebih tahan lama dari proses pembusukan.
Aman dari kandungan zat kimia berbahaya.
Manfaat sayuran organik ini untuk mencegah/mengurangi masuknya zat-zat kimia dari pupuk buatan maupun pestisida dalam sayuran ke tubuh.  Residu atau endapan dari zat kimia tadi bisa membahayakan dan menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker.
Sayuran organik memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi seperti kandungan mineral dibandingkan sayuran non organik. Sayuran yang ditanam secara organik memang sangat menyehatkan bagi tubuh.
Secara fisik, mungkin agak membingungkan saat memilih yang mana sayuran organik dan non organik. Ada satu cara praktis untuk membedakannya.  Pilihlah sayuran yang tampilan fisiknya tidak mulus/agak jelek.  Perhatikan daun atau batang sayuran, jika ada daun yang berlubang atau dimakan ulat/serangga, berarti sayuran tersebut aman untuk dimakan.  


Sehat dengan sayuran organik.

Si Peyot pun Kembali Dilirik

Wortel-wortel itu memang kurang seksi. Bentuknya kadang peyot, tidak gendut, dan juga tidak mulus menggoda seperti wortel yang biasa dipajang di etalase supermarket. Tapi, jangan keliru, justru yang peyot itulah yang kini banyak dicari konsumen di Jakarta dan kota besar lainnya. "Itu wortel organik," kata Melly Manuhutu, 28 tahun. Artis penyanyi ini gandrung berat pada produk pertanian yang bebas racun pestisida. Tidak tanggung-tanggung, sejak setahun lalu, perempuan kelahiran Ambon ini serius berbisnis sayuran organik. Bersama sang suami, Pracaka Kasmir, dia mengelola ladang seluas tiga hektare di Desa Ciburial, Puncak, Jawa Barat. Hasilnya, 45 jenis sayuran organik dipasarkan sendiri oleh Melly-Pracaka. "Kami jualan dari pintu ke pintu, lo," kata Melly sambil tersenyum lebar. Tunggu dulu. Jangan membayangkan nyonya muda nan seksi itu berjualan sayur seperti si mbok berkain panjang di pasar tradisional yang becek. Melly menjajaki pasar yang lebih berkelas seperti restoran, kalangan ekspatriat, selebriti, dan ibu-ibu yang peduli kesehatan. Setiap harinya Melly memasok puluhan kilogram daun selada segar, timun jepang, peterseli, seledri, dan bayam untuk berbagai restoran di Jakarta—antara lain Restoran Jepang Aozora, Bakmi Akoen, dan Ayam Goreng Gantari. Betul, produk pertanian organik sedang naik daun di seluruh dunia. Di Amerika, misalnya, pada 1980, pasar sayur dan buah organik hanya senilai US$ 34 juta. Berangsur-angsur permintaan produk organik terus meningkat sehingga, pada 2001, pasar ini telah bernilai US$ 12 miliar. Tren makanan organik bermula pada awal 1980-an, ketika gelombang revolusi hijau dikritik habis-habisan. Program intensifikasi pertanian dengan pupuk dan pestisida kimia ini bermula di Meksiko pada 1944, menyebar ke seluruh jagat dengan sokongan penuh Bank Dunia. Produksi pangan memang meningkat pesat dengan adanya revolusi. Tapi dampaknya pun begitu dahsyat sehingga revolusi hijau disebut-sebut sebagai bencana lingkungan terbesar abad ke-20. Betapa tidak, zat-zat kimia dari pupuk dan pestisida menumpuk di dalam sayur dan buah-buahan. Pelahan-lahan, residu zat kimia itu terakumulasi meracuni tubuh kita. Selain itu, kualitas kesuburan tanah menjadi korban. Unsur hara lapisan tanah atas (top soil)—nitrogen, kalsium, kalium—terkuras habis. Petani pun terpaksa terus-menerus bergantung pada pupuk dan pestisida kimia, yang harganya terus melonjak. Walhasil, banyak petani terjerat pusaran kemiskinan. Indonesia sendiri tersedot gelombang revolusi hijau sejak 1970-an. Pemerintah Orde Baru begitu agresif memaksakan teknologi pertanian ke segenap dusun. Petani yang menolak ikut serta, yang setia bertanam cara kuno dengan bibit lokal dan pupuk kandang, dianggap sebagai pemberontak yang membahayakan pembangunan. Untunglah, di tengah politik pertanian Orde Baru yang mencekik, tetap ada pihak-pihak yang setia menumbuhkan pertanian organik. Romo Agatho Elsener, 71 tahun, warga negara Indonesia kelahiran Italia, adalah contoh yang tak bisa diabaikan. Sesungguhnya Agatho sama sekali tidak punya latar belakang petani. Kakeknya pendiri perusahaan pisau lipat ternama Victorinox di Swiss. Tapi lelaki ini tidak berniat mengeduk uang dengan membuat pabrik pisau yang diwarisinya lebih meraksasa. Dua puluh tahun terakhir, Agatho memilih menjadi petani di Desa Tugu Selatan, Cisarua, Jawa Barat. "Saya cinta tanah dan ingin memuliakannya," katanya. Di area sejuk seluas 10 hektare yang bernama Pertanian Organik Agatho itu dikembangkan 60 komoditas, termasuk padi, jagung, okra, brokoli, juga kentang serta bit. Di sini, setiap jengkal tanah diolah dengan perhatian penuh. Ada 50 karyawan—belasan di antaranya adalah insinyur pertanian—yang hari demi hari memastikan puluhan ribu tanaman diperlakukan selaras dengan alam. Tanaman yang beraroma tajam, misalnya kenikir dan sereh wangi, sengaja dipelihara di sela-sela tanaman lain untuk mengusir hama. Lalu, secara bergantian, petak-petak lahan ditanami Leguminaceae (keluarga kacang-kacangan) demi memelihara kesuburan tanah. "Tanaman ini efektif menangkap unsur nitrogen dari udara," kata Dwipoyono, karyawan Agatho, "Jadi, enggak perlu pupuk nitrogen bikinan pabrik." Pada awal perkembangan ladangnya, 1980-an, Agatho sedikit-banyak juga merasakan tekanan pemerintah Orde Baru. Petugas penyuluh pertanian berkali-kali mendatangi dan mempertanyakan metodenya. Untunglah, dengan nada persuasif, pastor ini bisa menjelaskan makna bertani organik. Si petugas pun manggut-manggut setuju. Dia bilang, kata Agatho menirukan petugas, "Teruskan saja, Romo. Kelak pemerintah pasti akan sadar dan belajar kepada Anda." Benar saja. Setelah Orde Baru tumbang, Mei 1998, tidak sedikit pejabat yang mendatangi Pertanian Agatho. Utusan pemerintah, dari berbagai instansi, hilir-mudik mendatangi Agatho untuk belajar tata-cara bertani selaras alam. Seiring dengan itu, kelompok petani organik pun makin semarak di berbagai tempat, antara lain di Malang (Jawa Timur), Ganjuran (Yogyakarta), Cianjur (Jawa Barat), dan Agam (Sumatera Barat). Belakangan, para petani organik bahkan kewalahan mengimbangi permintaan pasar. Pada Oktober lalu, misalnya, diberitakan bahwa kelompok petani di Tasikmalaya, Jawa Barat, terpaksa menolak order enam ton beras organik dari pengusaha di Jakarta. Selain tumbangnya Orde Baru, peningkatan kesadaran menjaga kesehatan turut mendorong pamor produk pertanian organik. Berbagai riset membuktikan, timbunan residu zat kimia berperan meningkatkan risiko beragam penyakit, dari sakit mag, aneka jenis alergi, diabetes, hipertensi, jantung koroner, sampai stroke. Makanan organik, dalam hal ini, diyakini sebagai alternatif untuk menuju hidup lebih sehat. Hal ini pula yang membuat Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, memilih sayur dan buah organik sebagai bahan menu makanan pasien rawat inap. Melly Manuhutu merasakan khasiat makanan organik. "Badan terasa lebih segar dan bugar. Pusing-pusing hilang," katanya. Yacinta, 50 tahun, juga demikian. Penduduk Tebet, Jakarta, ini sudah lima tahun setia mengkonsumsi makanan organik. Hasilnya, tubuh terasa lebih segar dan keluarga Yacinta terbebas dari penyakit apa pun. Bahkan flu, pilek, dan demam pun tak pernah mampir pada Yacinta, suami, dan empat anaknya. "Kami enggak pernah repot-repot berobat ke dokter," kata Yacinta. Jelas bahwa makanan yang berkualitas, tanpa racun, telah sukses merawat dan membuat semua organ tubuh bekerja dengan baik pula. Ihwal kesehatan itu pula yang dengan jeli ditangkap para pebisnis. Di supermarket besar, produk pertanian organik dijual dengan harga yang bikin mata melotot saking mahalnya—dinaikkan ratusan persen dari harga pokok petani. Beras Taj Mahal, dengan klaim rendah karbohidrat, misalnya, dijual Rp 8.600 per kilogram atau hampir tiga kali lipat ketimbang beras konvensional. Satu bongkol brokoli organik di Plaza Senayan, Jakarta, dihargai Rp 15 ribu. Bandingkan dengan sebongkol brokoli biasa, yang hanya Rp 3.000-4.000. Tidak aneh jika kemudian makanan organik tampak sebagai gaya hidup yang mahal dan tidak terjangkau awam. Romo Agatho pun prihatin dengan gejala ini. Karena itu, Agatho menyiasati mahalnya harga jual dengan memotong jalur distribusi. Armada Agatho bersedia mengantar sayuran segar langsung (delivery order) dari Cisarua kepada konsumen di Jakarta. Syaratnya, sayur pesanan minimal Rp 500 ribu untuk sekali kirim. Jadi, "Ibu-ibu silakan berhimpun, bareng-bareng, untuk memesan sayur segar dari Cisarua," kata Royce Budiman dari bagian pemasaran Pertanian Agatho. "Harganya dijamin jauh lebih murah dibandingkan dengan yang dijajakan di supermarket," kata Roy berpromosi. Hanya, sekali lagi, jangan kaget bila nanti mendapati sayuran organik pesanan Anda tidak tampil montok dan seksi. Peyot sedikit tak apa, asalkan sehat dan merupakan hasil kerja yang selaras dengan alam. "Alam yang diperlakukan dengan cinta," Romo Agatho menekankan, "akan membalas memberikan yang terbaik untuk manusia." Mardiyah Chamim.